10 Kasus
Pelanggaran Etika Profesi Akuntansi
1. Manipulasi Laporan
Keuangan PT KAI
Transparansi serta
kejujuran dalam pengelolaan lembaga yang merupakan salah satu derivasi amanah
reformasi ternyata belum sepenuhnya dilaksanakan oleh salah satu badan usaha
milik negara, yakni PT Kereta Api Indonesia. Dalam laporan kinerja keuangan
tahunan yang diterbitkannya pada tahun 2005, ia mengumumkan bahwa keuntungan
sebesar Rp. 6,90 milyar telah diraihnya. Padahal, apabila dicermati, sebenarnya
ia harus dinyatakan menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar.
Kerugian ini terjadi
karena PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak
ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan
sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan, ia tidak
dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan demikian,
kekeliruan dalam pencatatan transaksi atau perubahan keuangan telah terjadi di
sini.
Di lain pihak, PT
Kereta Api Indonesia memandang bahwa kekeliruan pencatatan tersebut hanya
terjadi karena perbedaan persepsi mengenai pencatatan piutang yang tidak
tertagih. Terdapat pihak yang menilai bahwa piutang pada pihak ketiga yang
tidak tertagih itu bukan pendapatan. Sehingga, sebagai konsekuensinya PT Kereta
Api Indonesia seharusnya mengakui menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar.
Sebaliknya, ada pula pihak lain yang berpendapat bahwa piutang yang tidak
tertagih tetap dapat dimasukkan sebagai pendapatan PT Kereta Api Indonesia
sehingga keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar dapat diraih pada tahun tersebut.
Diduga, manipulasi laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia telah terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, akumulasi permasalahan terjadi disini.
2. Kasus Manipulasi
KAP Andersen dan Enron
Sejak tahun 1985
Enron Corporation menggunakan jasa Arthur Andersen. Andersen melakukan audit
internal dan audit external untuk Enron termasuk untuk kantor-kantor cabangnya.
Enron corporation adalah salah satu klien terbesar Andersen dengan kontribusi
omset sebesar $10 milyar per tahunnya.
Dalam rangka
memperbesar keuntungan yang selama ini telah diperoleh, dibukalah
partnership-partneship yang diberi nama “special purpose partnership”. Partner
dagang yang dimiliki oleh Enron hanya satu untuk setiap partnership dan partner
tersebut hanya menyumbang modal yang sangat sedikit (hanya sekitar 3% dari
jumlah modal keseluruhan). Orang awam pasti bertanya mengapa Enron berminat
untuk berpartisipasi dalam partnership dimana Enron menyumbang 97% dari modal.
Muncul pertanyaan
dari mana Enron membiayai partnership-partnership tersebut? Pembiayaan tersebut
ternyata diperoleh Enron dengan “meminjamkan” saham Enron (induk perusahaan)
kepada Enron (anak perusahaan) sebagai modal dasar partnership-partnership
tersebut. Secara singkat, Enron sesungguhnya mengadakan transaksi dengan
dirinya sendiri. Enron tidak pernah mengungkapkan operasi dari
partnership-partnership tersebut dalam laporan keuangan yang ditujukan kepada
pemegang saham dan Security Exchange Commission (SEC).
Lebih jauh lagi,
Enron bahkan memindahkan utang-utang sebesar $US 690 juta yang ditimbulkan
induk perusahaan ke partnership partnership tersebut. Total hutang yang
berhasil disembunyikan adalah $US 1,2 miliar. Akibatnya, laporan keuangan dari
induk perusahaan terlihat sangat atraktif, menyebabkan harga saham Enron
melonjak menjadi $US90 pada bulan Februari 2001. Perhitungan menunjukkan bahwa
dalam kurun waktu tersebut, Enron telah melebih-lebihkan laba mereka sebanyak
$US650miliar.
Manipulasi yang
dilakukan Enron selama bertahun-tahun ini mulai terungkap ketika Sherron
Watskin, salah satu eksekutif Enron mulai melaporkan praktek tidak terpuji ini.
Pada bulan September 2001, pemerintah mulai mencium adanya ketidakberesan dalam
laporan pembukuan Enron. Pada bulan Oktober 2001, Enron mengumumkan kerugian
sebesar $US618 miliar dan nilai aset Enron menyusut sebesar $US1,2 triliun
dolar AS. Pada laporan keuangan yang sama diakui, bahwa selama tujuh tahun
terakhir, Enron selalu melebih-lebihkan laba bersih mereka. Akibat laporan
mengejutkan ini, nilai saham Enron mulai anjlok dan saat Enron mengumumkan
bahwa perusahaan harus gulung tingkar, 2 Desember 2001, harga saham Enron hanya
26 sen.
3. Kasus
KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono
September tahun 2001,
KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono harus menanggung malu. Kantor akuntan
publik ternama ini terbukti menyogok aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75
ribu. Sebagai siasat, diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional
KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker
Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York. Berkat aksi sogok ini, kewajiban
pajak Easman memang susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$
270 ribu. Namun, Penasihat Anti Suap Baker rupanya was-was dengan polah anak
perusahaannya. Maka, ketimbang menanggung risiko lebih besar, Baker melaporkan
secara suka rela kasus ini dan memecat eksekutifnya.Badan pengawas pasar modal
AS, Securities & Exchange Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt
Practices Act, undang-undang anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar
negeri. Akibatnya, hampir saja Baker dan KPMG terseret ke pengadilan distrik
Texas. Namun, karena Baker mohon ampun, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar
pengadilan. KPMG pun terselamatan.
4. Kasus Mulyana W
Kusuma
Kasus ini terjadi
sekitar tahun 2004. Mulyana W Kusuma sebagai seorang anggota KPU diduga menyuap
anggota BPK yang saat itu akan melakukan audit keuangan berkaitan dengan
pengadaan logistic pemilu. Logistic untuk pemilu yang dimaksud yaitu kotak
suara, surat suara, amplop suara, tinta, dan teknologi informasi. Setelah
dilakukan pemeriksaan, badan dan BPK meminta dilakukan penyempurnaan laporan. Setelah
dilakukan penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa laporan tersebut lebih baik
daripada sebelumnya, kecuali untuk teknologi informasi. Untuk itu, maka
disepakati bahwa laporan akan diperiksa kembali satu bulan setelahnya.
Setelah lewat satu
bulan, ternyata laporan tersebut belum selesai dan disepakati pemberian waktu
tambahan. Di saat inilah terdengar kabar penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana
ditangkap karena dituduh hendak melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor
BPK, yakni Salman Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK
bekerja sama dengan auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama
dengan KPK memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan
alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka.
Penangkapan ini
menimbulkan pro dan kontra. Salah satu pihak berpendapat auditor yang
bersangkutan, yakni Salman telah berjasa mengungkap kasus ini, sedangkan pihak
lain berpendapat bahwa Salman tidak seharusnya melakukan perbuatan tersebut
karena hal tersebut telah melanggar kode etik akuntan.
5. Kasus Sembilan KAP
yang diduga melakukan kolusi dengan kliennya
Jakarta, 19 April
2001 .Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pihak kepolisian mengusut
sembilan Kantor Akuntan Publik, yang berdasarkan laporan Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan kolusi dengan pihak
bank yang pernah diauditnya antara tahun 1995-1997. Koordinator ICW Teten
Masduki kepada wartawan di Jakarta, Kamis, mengungkapkan, berdasarkan temuan
BPKP, sembilan dari sepuluh KAP yang melakukan audit terhadap sekitar 36 bank
bermasalah ternyata tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar
audit.
Hasil audit tersebut
ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga akibatnya mayoritas
bank-bank yang diaudit tersebut termasuk di antara bank-bank yang dibekukan
kegiatan usahanya oleh pemerintah sekitar tahun 1999. Kesembilan KAP tersebut
adalah AI & R, HT & M, H & R, JM & R, PU & R, RY, S &
S, SD & R, dan RBT & R. “Dengan kata lain, kesembilan KAP itu telah
menyalahi etika profesi. Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan publik
dengan bank yang diperiksa untuk memoles laporannya sehingga memberikan laporan
palsu, ini jelas suatu kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu dekat
akan memberikan laporan kepada pihak kepolisian untuk melakukan pengusutan
mengenai adanya tindak kriminal yang dilakukan kantor akuntan publik dengan
pihak
perbankan.
ICW menduga, hasil
laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau kesalahan dalam penulisan
laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi kemungkinan ada berbagai
penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba ditutupi dengan melakukan rekayasa
akuntansi. Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak melakukan
tindakan administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan laporannya,
karena itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos laporan BPKP ini
karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami mencurigai, kesembilan
KAP itu telah melanggar standar audit sehingga menghasilkan laporan yang
menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi laporan bank tersebut sehat
ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini merugikan masyarakat. Kita
mengharapkan ada tindakan administratif dari Departemen Keuangan misalnya
mencabut izin kantor akuntan publik itu,” tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga
sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP tersebut kepada Majelis
Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus meminta supaya
dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode etik profesi
akuntan.
6. Kasus PT Muzatek
Jaya
Kasus
pelanggaran atas Standar Profesional Akuntan Publik, muncul kembali. Menteri
Keuangan langsung memberikan sanksi pembekuan.
Menkeu
Sri Mulyani telah membekukan ijin AP (Akuntan Publik) Drs Petrus M. Winata dari
KAP Drs. Mitra Winata dan Rekan selama 2 tahun yang terhitung sejak 15 Marit
2007, Kepala Biro Hubungan Masyaraket Dep. Keuangan, Samsuar Said saat siaran
pers pada Selasa (27/3), menerangkan sanksi pembekuan dilakukan karena AP
tersebut melakukan suatu pelanggaran atas SPAP (Standar Profesional Akuntan
Publik).
Pelanggaran
tersebut berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan audit terhadap Laporan
Keuangan PT. Muzatek Jaya pada tahun buku 31 December 2004 yang dijalankan oleh
Petrus. Dan selain itu Petrus juga melakukan pelanggaran terhadap pembatasan
dalam penugasan audit yaitu Petrus malaksanakan audit umum terhadap Lap.
keuangan PT. Muzatek Jaya dan PT. Luhur Arta Kencana serta kepada Apartement
Nuansa Hijau mulai tahun buku 2001. hingga tahun 2004.
7. Kasus Malinda Dee -
Citibank
Malinda
Memalsukan Tandatangan Nasabah
Malinda
Dee, 47 tahun, Terdakwa atas kasus pembobolan dana Citybank, terbukti diketahui
memindahkan beberapa dana nasabah dengan memalsukan tandatangan nasabah didalam
formulir transfer. Kejadian ini terungkap didalam dakwaan oleh Jaksa Penuntut
Umum dalam sidang perdana di PN Jakarta Selatan, Selasa [8/11/2011].
"Sebagian tandatangan yang tertera pada blangko formulir transfer adalah
tanda-tangan nasabah." ujar Tatang Sutarma, Jaksa Penuntut Umum.
Malinda
berhasil memalsukan tandatangan Rohli bin Pateni. Pemalsuan dilakukan hingga 6
kali pada formulir transfer Citibank nomor AM 93712 yang bernilai 150.000
dollar AS pada tanggal 31 Agustus 2010. Pemalsuan tanda tangan dilakukan juga
di formulir nomor AN 106244 yang dikirim ke PT. Eksklusif Jaya Perkasa sebesar
Rp. 99 juta. Dalam transaksi transfer ini, Malinda dee menulis
"Pembayaran Bapak Rohli untuk pembayaran interior", pada kolom pesan.
Pemalsuan
tanda tangan yang lain pada formulir nomor AN 86515 tanggal 23 Desember 2010
dengan penerima PT. Abadi Agung Utama. "Penerima Bank Artha Graha senilai
Rp. 50 juta dan pada kolom pesan tertulis DP pembelian unit 3 lantei 33 combin
unit." baca jaksa penuntut umum. Juga dengan menggunakan nama serta
tanda-tangan palsu Rohli, Malinda Dee mengirim uang sebesar Rp. 250 juta pada
formulir AN 86514 kepada PT. Samudera Asia Nasional tanggal 27 December 2010
dan AN 61489 sebesar nilai yang sama pada tanggal 26 January 2011. Pun
pemalsuan dalam formulir AN 134280 pengiriman kepada Rocky Deany C. Umbas
senilai Rp. 50 juta tanggal 28 January 2011 pembayaran pemasangan CCTV, milik
Rohli.
Adapun
tanda-tangan palsu beratas nama korban N. Susetyo Sutadji dilakukan sebanyak 5
kali, yaitu dalam formulir Citibank No AJ 79026, AM 122339, AM 122330, AM
122340, dan juga AN 110601. Malinda mengirim uang senilai Rp. 2 miliar kepada
PT. Sarwahita Global Management, Rp. 361 juta kepada PT. Yafriro International,
Rp. 700 juta kepada Leonard Tambunan. Dan 2 transaksi yang lain sebesar Rp. 500
juta dan Rp 150 juta dikirimkan kepada Vigor AW. Yoshuara secara berurutan.
"Hal
ini telah sesuai dengan keterangan saksi Rohli dan N. Susetyo Sutadji dan saksi
Surjati T. Budiman serta telah sesuai BAP (Berita Acara Pemeriksaan)
Labaratoris Kriminalistis Bareskrim Polri." jelasnya. Pengiriman uang
serta pemalsuan tanda-tangan ini tidak di sadari oleh ke-2 nasabah
tersebut.
8. Kasus Kredit Macet
Rp 52 Miliar
JAMBI,
KOMPAS.com – Seorang akuntan publik yang membuat laporan keuangan perusahaan
Raden Motor untuk mendapatkan pinjaman modal senilai Rp 52 miliar dari BRI
Cabang Jambi pada 2009, diduga terlibat kasus korupsi dalam kredit macet.
Hal ini
terungkap setelah pihak Kejati Jambi mengungkap kasus dugaan korupsi tersebut
pada kredit macet untuk pengembangan usaha di bidang otomotif tersebut.
Fitri
Susanti, kuasa hukum tersangka Effendi Syam, pegawai BRI yang terlibat kasus
itu, Selasa (18/5/2010) mengatakan, setelah kliennya diperiksa dan dikonfrontir
keterangannya dengan para saksi, terungkap ada dugaan kuat keterlibatan dari
Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus ini. Hasil pemeriksaan dan
konfrontir keterangan tersangka dengan saksi Biasa Sitepu terungkap ada
kesalahan dalam laporan keuangan perusahaan Raden Motor dalam mengajukan
pinjaman ke BRI.
Ada empat
kegiatan data laporan keuangan yang tidak dibuat dalam laporan tersebut oleh
akuntan publik, sehingga terjadilah kesalahan dalam proses kredit dan ditemukan
dugaan korupsinya. “Ada empat kegiatan laporan keuangan milik Raden Motor yang
tidak masuk dalam laporan keuangan yang diajukan ke BRI, sehingga menjadi
temuan dan kejanggalan pihak kejaksaan dalam mengungkap kasus kredit macet
tersebut,” tegas Fitri.
Keterangan
dan fakta tersebut terungkap setelah tersangka Effendi Syam diperiksa dan
dikonfrontir keterangannya dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik
dalam kasus tersebut di Kejati Jambi.
Semestinya
data laporan keuangan Raden Motor yang diajukan ke BRI saat itu harus lengkap,
namun dalam laporan keuangan yang diberikan tersangka Zein Muhamad sebagai
pimpinan Raden Motor ada data yang diduga tidak dibuat semestinya dan tidak
lengkap oleh akuntan publik.
Tersangka
Effendi Syam melalui kuasa hukumnya berharap pihak penyidik Kejati Jambi dapat
menjalankan pemeriksaan dan mengungkap kasus dengan adil dan menetapkan siapa
saja yang juga terlibat dalam kasus kredit macet senilai Rp 52 miliar, sehingga
terungkap kasus korupsinya.
Sementara
itu pihak penyidik Kejaksaan yang memeriksa kasus ini belum maumemberikan
komentar banyak atas temuan keterangan hasil konfrontir tersangka Effendi Syam
dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik tersebut.
Kasus
kredit macet yang menjadi perkara tindak pidana korupsi itu terungkap setelah
kejaksaan mendapatkan laporan adanya penyalahgunaan kredit yang diajukan
tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor. Dalam kasus ini pihak
Kejati Jambi baru menetapkan dua orang tersangka, pertama Zein Muhamad sebagai
pimpinan Raden Motor yang mengajukan pinjaman dan tersangka Effedi Syam dari
BRI yang saat itu menjabat sebagai pejabat penilai pengajuan kredit.
9. Kasus Lippo
Beberapa kasus yang hampir serupa juga terjadi di
Indonesia, salah satunya adalah laporan keuangan ganda Bank Lippo pada tahun
2002. Kasus Lippo bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang
ditemukan oleh Bapepam untuk periode 30 September 2002, yang masing-masing
berbeda. Laporan yang berbeda itu, pertama, yang diberikan kepada publik atau
diiklankan melalui media massa pada 28 November 2002. Kedua, laporan ke BEJ
pada 27 Desember 2002, dan ketiga, laporan yang disampaikan akuntan publik,
dalam hal ini kantor akuntan publik Prasetio, Sarwoko dan Sandjaja dengan
auditor Ruchjat Kosasih dan disampaikan kepada manajemen Bank Lippo pada 6
Januari 2003. Dari ketiga versi laporan keuangan tersebut yang benar-benar
telah diaudit dan mencantumkan ”opini wajar tanpa pengecualian” adalah laporan
yang disampaikan pada 6 Januari 2003. Dimana dalam laporan itu disampaikan
adanya penurunan AYDA (agunan yang diambil alih) sebesar Rp 1,42 triliun, total
aktiva Rp 22,8 triliun, rugi bersih sebesar Rp 1,273 triliun dan CAR sebesar
4,23 %. Untuk laporan keuangan yang diiklankan pada 28 November 2002 ternyata
terdapat kelalaian manajemen dengan mencantumkan kata audit. Padahal laporan
tersebut belum diaudit, dimana angka yang tercatat pada saat diiklankan adalah
AYDA sebesar Rp 2,933 triliun, aktiva sebesar Rp 24,185 triliun, laba bersih
tercatat Rp 98,77 miliar, dan CAR 24,77 %. Karena itu BAPEPAM menjatuhkan
sanksi denda kepada jajaran direksi PT Bank Lippo Tbk. sebesar Rp 2,5 miliar,
karena pencantuman kata ”diaudit” dan ”opini wajar tanpa pengecualian” di
laporan keuangan 30 September 2002 yang dipublikasikan pada 28 Nopember 2002,
dan juga menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp 3,5 juta kepada Ruchjat Kosasih
selaku partner kantor akuntan publik (KAP) Prasetio, Sarwoko & Sandjaja
karena keterlambatan penyampaian informasi penting mengenai penurunan AYDA Bank
Lippo selama 35 hari.
Kasus-kasus skandal diatas menyebabkan profesi
akuntan beberapa tahun terakhir telah mengalami krisis kepercayaan. Hal itu
mempertegas perlunya kepekaan profesi akuntan terhadap etika. Jones, et al.
(2003) lebih memilih pendekatan individu terhadap kepedulian etika yang berbeda
dengan pendekatan aturan seperti yang berdasarkan pada Sarbanes Oxley Act.
Mastracchio (2005) menekankan bahwa kepedulian terhadap etika harus diawali
dari kurikulum akuntansi, jauh sebelum mahasiswa akuntansi masuk di dunia profesi
akuntansi. Dari kedua kasus di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam
profesi akuntan terdapat masalah yang cukup pelik di mana di satu sisi para
akuntan harus menunjukkan independensinya sebagai auditor dengan menyampaikan
hasil audit ke masyarakat secara obyektif, tetapi di sisi lain mereka
dipekerjakan dan dibayar oleh perusahaan yang tentunya memiliki kepentingan
tersendiri.
TEMPO.CO, Jakarta - Chaeri Wardana alias Wawan, adik Gubernur Banten
nonaktif Atut Chosiyah, untuk pertama kalinya diperiksa Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) di Jakarta, Jumat, 4 Juli 2014, sebagai tersangka kasus korupsi
pengadaan alat kesehatan Tangerang Selatan.
Menurut juru bicara KPK, Johan Budi Sapto Prabowo, sebelumnya periksaan
Wawan tidak masuk dalam agenda pemeriksaan hari Jumat. "Ada tambahan
pemeriksaan atas nama TCW, diperiksa sebagai tersangka kasus pengadaan alat
kesehatan Tangerang Selatan," kata Johan.
Wawan masuk ke gedung KPK sekitar pukul 14.00 dan keluar pukul 18.30 WIB.
Suami Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany ini saat ditanya wartawan
setelah diperiksa tak mengucap sepatah kata pun.
Penasihat hukum Wawan, Maqdir Ismail, menuturkan kliennya diperiksa atas
kasus proyek pengadaan barang senilai sekitar Rp 20 miliar itu. "Dia juga
diminta konfirmasinya terkait dengan dokumen proyek itu," ujarnya.
Menurut dia, Wawan hanya tahu proses sesudah lelang. "Proses
pengadaan barangnya, ia tidak tahu," kata Maqdir. Dia menuturkan yang
paling tahu soal pengadaan barangnya adalah Kepala Dinas Kesehatan Tangerang
Selatan Dadang M. Epid. Pada pertengahan Juni lalu, Dadang telah ditetapkan
sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. (Baca juga: Atut dan Wawan Jadi
Tersangka Korupsi Alkes Banten).
Wawan sudah divonis 5 tahun penjara atas kasus suap penanganan sengketa
pemilu kepala daerah Lebak dan Banten di Mahkamah Konstitusi. Dia juga
diduga terlibat kasus korupsi pengadaan alat kesehatan Tangerang Selatan dan
Banten. Juga kasus pencucian uang. Tiga kasus ini masih dalam proses
penyidikan.
Sumber: