1. Hukum Perjanjian Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang
berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak
yang bersangkutan tercapai persesuaian kehendak, artinya : apa yang dikehendaki
oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu
bertemu dalam “sepakat” tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua
belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya: “setuju”,
“accord”, “oke” dan lain-lain sebagainyaataupun dengan bersama-sama manaruh
tanda tangan dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa
kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu.
Bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu itu adalah juga
yang dikehendaki oleh yang lain atau bahwa kehendak mereka adalah “sama”,
sebenarnya tidak tepat. Yang betul adalah bahwa yang mereka kehendaki adalah
“sama dalam kebalikannya”, misalnya : yang satu ingin melepaskan hak miliknya
atas suatu barang asal diberi sejumlah uang tertentu sebagai gantinya,
sedangkan yanglain ingin memperoleh hak milik atas barang tersebut dan bersedia
memberikan sejumlah uang yang dosebutkan itu sebagai gantinya kepada pemilik
barang.
Dari mana dapat kita ketahui atau kita simpulkan bahwa hukum
perjanjian B.W. menganut asas konsensualise itu? Menurut pendapat kami, asas
tersebut harus kita simpulkan dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur
tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari pasal 1338 (1)
sepertidiajarkan oleh beberapa penulis. Bahkan oleh pasal 1338 (1) yang
berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” itu dimaksudkan untuk
menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu
undang-undang.
- · Pengecualian “Asas Konsensual”
Ada yang dinamakan perjanjian-perjanjian “ formal” atau pula
yang dinamakan perjanjian “riil” itu merupakan kekecualian. Perjanjian formal
adalah misalnya perjanjian “perdamaian” yang menurut pasal 1851 (2) B.W. harus
diadakan secara tertulis (kalau tidak maka ia tidak sah), sedangkan perjanjian
riil adalah perjanjian “pinjam-pakai” yang menurut pasal 1740 baru tercipta
dengan diserahkannya barang yang menjadi obyeknya atau perjanjian “penitipan”
yang menurut pasal 1694 baru terjadi dengan diserahkannya barang yang
dititipkan. Untuk perjanjian-perjanjian ini tidak cukup dengan adanya sepakat
saja, tetapi disamping itu diperlukan suatu formalitas atau suatu perbuatan
yang nyata (riil).
Sudah jelaslah kiranya bahwa asas konsensualisme itu kita
simpulkan dari pasal 1320 dan bukannya dari pasal 1338 (1). Dari pasal yang
terakhir ini lajimnya disimpulkan suatu asas lain dari hukum perjanjian B.W.,
yaitu adanya atau dianutnya sistem terbuka atau asas
kebebasan berkontrak (beginsel der contractsvrijheid). Adapun cara
menyimpulkannya ialah dengan jalan menekankan pada perkataan “ semuanya” yang
ada dimuka perkataan “perjanjian”. Dikatakan bahwa pasal 1338 (1) itu
seolah-oleh membuat suatu pernyataan (proklamasi) bahwa kita diperbolehkan membuat
perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya
undang-undang. Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang
dinamakan “ ketertiban dan kesusilaan umum”.
Kesepakatan berarti kesesuaian kehendak. Namun kehendak atau
keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan didalam
hati tidak mungkin deketahui pihak lain dan karenanya tidak mugkin melahirkan
sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak
ini tidak terbatas pada mengucapkanperkataan-perkataan , ia dapat dicapai pula
dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu,
baik olehpihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang “menawarkan” (melakukan
“offerte”) maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.
2. Hukum Perjanjian Bebas Berkontrak
Dalam Pasal
1338 ayat 1 BW menegaskan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan
berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada pihak untuk
membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun,
menentukan isi perjanjian/ pelaksanaan dan persyaratannya, menentukan bentuknya
perjanjian yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan
berkontrak merupakan sifat atau ciri khas dari Buku III BW, yang hanya mengatur
para pihak, sehingga para pihak dapat saja mengenyampingkannya, kecuali
terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.
3. Hukum
Perjanjian
sas pacta
sunt servanda atau disebut juga sebagai asas kepastian hukum, berkaitan
dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas
bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta
sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 BW yang menegaskan
“perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”
Pacta Sunt Servanda
(aggrements must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa
“setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan
perjanjian. Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam
pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa “every treaty in force is
binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith”
(setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad
baik).
Pacta sunt Servanda
pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah
hukum perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat.
Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi
janji tersebut (promissorum implendorum obligati).
Menurut Grotius, asas pacta
sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah
menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan, yaitu :
- Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan
- Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak
Sumber
:
Subekti,
1995,Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung.
http://asashukum.blogspot.com/2012/03/pacta-sunt-servanda.html